Sedikit
berbagi ni, seputar skripsi saya..
Berawal
dari kesukaan saya dengan para bayi ganteng dan cantik alhasil terjerumuslah
saya dalam lautan neonatologi (ilmu yang mempelajari tentang neonatus alias
bayi)
Yap
dikesempatan saya kali ini, saya memilih untuk meneliti tentang ASI dan
Ikterus. Kalau ASI pasti semuanya sudah kenal, kalau ikterus kayaknya cuma
yang terjun di dunia kesehatan aja ni yang tahu istilah ini.
Baiklah
saya perkenalkan..
“Ikterus merupakan pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan
kulit yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Ikterus umumnya mulai tampak
pada sklera (bagian putih mata) dan muka, selanjutnya meluas secara
sefalokaudal (dari atas ke bawah) ke arah dada, perut dan ekstremitas (Sukadi, 2010).”
Dan ternyata ikterus
ini lazim terjadi pada bayi baru lahir.. jadi buat kalian yang punya ponakan
baru, adek baru, atau baby baru g
perlu khawatir kalau tiba-tiba bayinya kuning.
“Ikterus
pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan
80% bayi kurang bulan. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang dirawat kembali
dalam minggu pertama kehidupan disebabkan karena ikterus (Sukadi, 2010). “
Eits
tapi jangan tenang dulu karena jika ikterus itu memanjang, bisa jadi membahayakan
untuk si bayi.
“Ikterus yang ditemukan pada bayi baru
lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis (terdapat 25-50% neonatus cukup
bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan) atau dapat merupakan
hal yang patologis misalnya pada inkompatibilitas rhesus dan ABO, sepsis, galaktosemia, penyumbatan saluran empedu
dan sebagainya. Ikterus fisiologis ialah ikterus yang timbul pada hari kedua
dan ketiga yang tidak memiliki dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar
yang membahayakan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis ialah ikterus
yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai
yang disebut hiperbilirubinemia (Hassan dan Alatas, 2007).”
Dari yang sudah saya pelajari sejauh ini saya
resumekan dengan bahasa awam kira-kira seperti ini,
Ikterus pada bayi baru lahir ada dua macam, bisa jadi fisiologis
(normal) atau patologis (lawannya normal). Ikterus fisiologis ini terjadi di
minggu awal kelahiran tapi bukan 24 jam pertama dan kadar bilirubinnya >2
mg/dl. Nah kalau ikterus patologis ini terjadi di 24 jam pertama setelah
lahir, dan ditandai dengan peningkatan cepat bilirubin serum. Kriteria meliputi
(1) Ikterus dalam 24 jam pertama kehidupan, (2) Peningkatan cepat bilirubin
serum total >85 µmol/L (1,5-2 mg/dl) per hari, (3) Bilirubin serum total
>200 µmol/L (12,9 mg/dl), (4) Bilirubin terkonjugasi (reaksi-langsung)
>25-35 µmol/L (1,5-2 mg/dl), (5) Persistensi ikterus klinis selama 7-10 hari
pada bayi aterm atau 2 minggu pada bayi prematur.
Mengapa bisa terjadi hal yang demikian?
Ikterus fisiologis
terjadi pada bayi baru lahir karena:
Peningkatan
pemecahan sel darah merah. Produksi bilirubin bayi baru lahir
lebih dari dua kali produksi orang dewasa normal per kilogram berat badan.
Uterus yang hipoksik (minim O2), janin bergantung pada hemoglobin F
(hemoglobin janin), yang memiliki afinitas oksigen lebih besar daripada
hemoglobin A (hemoglobin dewasa). Ketika sistem pulmonar menjadi fungsional
saat lahir, massa sel darah merah besar yang dibuang melalui hemolisis
mengakibatkan timbunan bilirubin, yang berpotensi membebani sistem secara
berlebihan.
Gambar 3.
Diagram skematik konjugasi bilirubin
Sumber: Fraser
dan Cooper, 2009
|
Defisiensi enzim. Kadar aktivitas enzim
UDP-GT (Uridine 5’-diphospho glucoronyl
transferase ) yang rendah selama 24 jam pertama
setelah kelahiran akan mengurangi konjugasi bilirubin. Kadar meningkat setelah
24 jam pertama tidak akan mencapai kadar dewasa selama 6-14 minggu.
Peningkatan reabsorbsi enterohepatik. Proses
ini meningkat dalam usus bayi baru lahir karena kurangnya jumlah bakteri
enterik normal yang memecahkan bilirubin menjadi urobilinogen; bakteri ini juga
meningkatkan aktivitas enzim beta-glukoronidase,
yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi kembali ke kondisi tak terkonjugasi
(jika bilirubin diabsorbsi kembali dalam sistem). Jika pemberian susu ditunda,
motilitas usus juga menurun, selanjutnya mengganggu ekskresi bilirubin tak
terkonjugasi. Bayi Asia memiliki sirkulasi enterohepatik bilirubin yang tinggi,
puncak konsentrasi bilirubin lebih tinggi dan ikterus yang lebih lama
(Percival, 2009).
Nah kalau yang ikterus patologis bisa disebabkan karena:
Produksi.
Faktor yang meningkatkan penghancuran hemoglobin juga meningkatkan kadar
bilirubin. Penyebab peningkatan hemolisis meliputi (1) Inkompatibilitas tipe/golongan darah. Rhesus anti-D, anti-A,
anti-B, dan anti-Kell, juga ABO. (2) Hemoglobinopati.
Penyakit sel sabit dan talasemia (diderita oleh bayi Afrika dan keturunan
Mediterania) (3) Defisiensi enzim-Glukosa
6-fosfat dehidrogenase (G6PD) memelihara integritas membran sel SDM, dan
defisiensi menyebabkan hemolisis (defisiensi ini adalah penyakit genetik
terkait X yang merupakan bawaan wanita yang diderita oleh bayi laki-laki
Afrika, Asia, dan keturunan Mediterania). (4) Sferositosis. Membran SDM rapuh (5) Ekstravasasi darah. Sefalhematoma dan memar. (6) Sepsis. Dapat menyebabkan peningkatan
pemecahan hemoglobin. (7) Polisitemia.
Darah mengandung terlalu banyak sel darah merah seperti pada tranfusi
maternofetal atau kembar-ke-kembar.
Gambar 4.
Tempat peristiwa terjadinya ikterus
Sumber:
Fraser dan Cooper, 2009
|
Konjugasi.
Seperti halnya imaturitas sistem enzim pada neonatus, faktor lain dapat
mengganggu konjugasi bilirubin di hati, meliputi (1) Dehidrasi, kelaparan,
hipoksia, dan sepsis (oksigen dan glukosa diperlukan untuk konjugasi). (2)
Infeksi TORCH (toksoplasmosis, rubela, sitomegalovirus, herpes). (3) Infeksi
virus lain (misal: hepatitis virus pada neonatus). (4) Infeksi bakteria lain,
terutama yang disebabkan oleh Escherichia
coli (E.coli). (5) Gangguan metabolik
dan endokrin yang mengubah aktivitas enzim UDP-GT (misal: penyakit
Crigler-Najjar dan sindrom Gilbert). (6) Gangguan metabolik lain, seperti
hipotiroidisme dan galaktosemia.
Ekskresi.
Faktor yang dapat mengganggu ekskresi bilirubin meliputi (1) Obstruksi hepatik
yang disebabkan oleh anomali kongenital, seperti stresia bilier ekstrahepatik.
(2) Obstruksi akibat sumbat empedu karena peningkatan viskositas empedu (misal:
fibrosis kistik, nutrisi parenteral total, gangguan hemolitik, dan dehidrasi).
(3) Saturasi pembawa protein yang diperlukan untuk mengekskresi bilirubin
terkonjugasi ke dalam sistem bilier. (4) Infeksi, kelainan kongenital lain, dan
hepatitis neonatal idiopatik, yang juga dapat menyebabkan bilirubin
terkonjugasi berlebihan (Percival, 2009).
Dan ternyata ASI bisa berpengaruh juga
terhadap kejadian ikterus pada bayi baru lahir. Bagaimana ASI bisa berpengaruh?
Bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi
minum lebih sering dan bayi dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung
mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Bayi yang
mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya
lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi
ikterus fisiologis (Sukadi, 2010). Pemberian segera dan frekuensi menetek dapat
mencegah ikterus fisiologis. Bayi tidak menyusui dengan sering dan baik dapat
meningkatkan kadar bilirubin hingga 15 mg/dl (255 µmol/L). Sebuah penelitian
ditemukan, pemberian ASI minimum 9 kali dalam 24 jam dapat mencegah ikterus
fisiologis secara bermakna. Bayi yang diberikan ASI antara 9-11 kali per hari
sejak lahir dan meningkat 86% pada hari kedua lebih efektif dikonsumsi
dibanding dengan pemberian ASI ≤ 6 kali per hari. Bayi yang tidak cukup
mendapatkan kolostrum pada awal kelahiran memungkinkan keterlambatan
pengeluaran mekoneum. Bilirubin pada mekoneum yang tidak dapat di reabsorbsi
pada aliran darah dapat menyebabkan penumpukan kadar bilirubin (Mohrbacher dan Stock, 2000).
Berawal dari sinilah akhirnya saya ingin meneliti mengenai hubungan pemberian kolostrum, frekuensi dan durasi pemberian ASI terhadap kejadian ikterus fisiologis pada neonatus.
Berawal dari sinilah akhirnya saya ingin meneliti mengenai hubungan pemberian kolostrum, frekuensi dan durasi pemberian ASI terhadap kejadian ikterus fisiologis pada neonatus.
Insyaallah Juli sudah
selesai ni skripsinya, mohon doanya semua..
Semoga sedikit info ini
dapat bermanfaat..
Sumber:
Hassan,
Rusepno dan Alatas, Husein, 2007, Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
Mohrbacher,
Nancy dan Stock, BA. Julie, 2000, The
Breastfeeding Answer Book Revised Edition, Schaumburg: La Leche League.
Percival,
Patricia, 2009, Ikterus dan Infeksi,
dalam: Fraser, M. Diane dan Cooper, A. Margaret, 2009, Myles Buku Ajar Bidan Ed. 14, Jakarta: EGC.
Sukadi,
Abdulrahman, 2010, Hiperbilirubinemia,
dalam: Kosim, M. Sholeh, dkk, 2010, Buku
Ajar Neonatologi, Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Komentar
Posting Komentar